Kenapa kita tidak bersyukur

Kenapa kita tidak bersyukur (2)

Kebiasaan kadang membutakan. Kebiasaan juga melenakan. Kebiasaan kadang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dalam taraf yang lebih tinggi lagi, kebiasaan bahkan diyakini dan dilestarikan sebagai dogma. Bahkan bisa turun-temurun. Padahal dibalik kebiasaan ini, orang bisa celaka karena sudah biasa. Biasanya begitu gak apa – apa kok? Maka tersebutlah kata - kata bijak yang elok akan kebiasaan ini; jangan benarkan yang biasa, tapi biasakan yang benar. Di perempatan – perempatan, sering kita melihat para pengendara menyerobot lampu merah. Untuk kesekian kali, karena sudah biasa, mereka selamat. Namun suatu ketika naas menghampirinya. Kebiasaan menerobos lampu merah itu membawa petaka. Biasanya sih selamat, sayang sekarang tidak.

Mari kita tengok kebiasaan – kebiasaan yang lain, sebab semua orang pasti memilikinya. Apakah sudah benar? Terus apa manfaat kebiasaan itu buat kita? Sudah hampir 2 tahun saya sudah biasa melewati rute favorit ini. Setidaknya sehari dua kali, bolak – balik dan seminggu 5 hari. Yaitu ketika berangkat dan pulang kerja. Namun, baru akhir – akhir ini mencuat rasa lain di luar kebiasaan yang terjadi. Bukan sebuah petaka, tetapi sebuah pendalaman. Atau boleh juga disebut pencerahan walau bersifat pribadi. Bentuk kesyukuran dan tambah syukur mengarungi samudera kehidupan ini. Coba kalau dulu masuk ke situ. Gak tahu deh jadinya, seperti apa.

Allah berfirman; “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS 2:269)

Pertama, bersyukur dulu tidak masuk STAN – Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Perguruan yang mentereng di bilangan Bintaro Jaya ini, adalah institusi favorit incaran anak lulusan SMA yang berotak encer, tapi bermodal cekak. Selain gratis, juga menjanjikan. Bahkan dapat tunjangan bulanan. Setiap lulusannya dijamin bekerja di Departemen Keuangan, khususnya perpajakan.  Waktu itu. Dan semua mafhum, di ranah inilah lahan paling basah dalam bekerja. Gaji standar PNS, tetapi penghasilan layaknya jutawan. Sebutlah hingar-bingar Gayus yang beken, Dhana atau Bahasyim dengan skandalnya. Memang tidak semua begitu atau bisa disama-ratakan. Namun, umumnya masyarakat sekarang punya stigma seperti itu. Dan cerita – cerita minor di akar rumput mempresentasikan akan hal serupa. Sesuai pepatah; sebab nila setitik, rusak susu sebelanga. Wallahul musta’an.

Kedua, Mabes POLRI di bilangan Trunojoyo – Kebayoran Baru. Markas yang megah. Gedung yang penuh tuah – serapah. Angker melihatnya. Dulu selepas SMA pernah punya niatan dan digadang – gadang masuk institusi ini. Postur dapat, kesehatan oke, tapi setelah daftar ternyata tidak diterima. Maklum polos. Hanya bermodal tekad dan keberuntungan saja. Dan itu ternyata belum cukup. Namun beruntung juga tak jadi. Kalau jadi, wah pasti sekarang sudah punya pangkat. Punya jabatan dan kedudukan yang tinggi. Kalau nasib baik, mungkin sudah jadi jenderal, minimal AKBP setingkat Polres. Dengan itu otomatis kekayaan mengalir mengikutinya. Godir ngalih. Mana ada sih, jenderal miskin? Berbanding terbalik dengan kenyataan, di markas itu tertulis dengan jelas dan besar; Anda memasuki Daerah bebas KKN! Namun survey membuktikan bahwa institusi paling korup diantaranya adalah lembaga ini. Alhamdulillah, terselamatkanlah lagi jiwa ini.

Setiap orang punya masa lalu, baik yang jelek maupun yang baik. Dan salah satu kegunaan masa lalu itu adalah sebagai penghubung, cermin, dan jembatan pemahaman bahwa apa yang diberikan Allah kepada setiap insan itu, pada dasarnya adalah yang terbaik. Walau saat kejadian, kebanyakan belum bisa menerima, apa hikmah dibalik itu semua. Bahkan ada yang sedih berkepanjangan. Marah – marah. Frustasi sampai ada juga yang mengakhiri hidup ini segala. Bagi yang kuat bisa melewatinya, sedikit demi sedikit, ketika sadar, sudah jauh meninggalkannya dan tinggal kenangan. Oleh karena itu, mari kita olah menjadi jalan kesyukuran. Berharap mendapat kalimatul hikmah dari kejadian per kejadian tanpa terkecuali dalam hidup ini. Terlebih lagi ada maqam Syakiran shabiran yang semua orang tentu ingin memiliki. Apa itu?

Sunan Tirmidzi di dalam Kitab Sifatil qiyamah warriqoo’iq walwaro’, pada hadist nomer 2436, menyebutkan dan menjelaskan istilah Syakiran shabiran ini. Menurut Sunan Tirmidzi hadist ini mempunyai derajat hasan ghorib – hadits yang baik tetapi asing, jarang terdengar dan beredar sebab jarang yang meriwayatkan. Tidak ada perawi lain dalam kutubu tis’ah yang meriwayatkan hadist ini. Jadi hanya Sunan Tirmidzi sajalah yang meriwayatkan, walaupun sebenarnya ada dua jalur dalam periwayatan hadist ini. Satu dari jalur Suwaid ibnu Nashr dan lainnya dari jalan Ali bin Ishaq. Berikut redaksinya.

Rasulullah SAW bersabda;”Dua perkara kalau keduanya ada pada seseorang, maka Allah akan menulisnya syakiron shabiron. Dan barang siapa tidak ada dua perkara padanya, maka Allah tidak akan menulisnya syakiron shobiron. Yaitu, barang siapa yang melihat di dalam agamanya kepada orang yang melebihinya, maka mengikuti dia padanya dan barangsiapa melihat dalam masalah dunianya kepada orang yang lebih rendah darinya, lantas dia bersyukur kepada Allah atas kefadholan yang diberikan Allah padanya, maka Allah menulisnya Syakiron shobiron. Tetapi barang siapa yang melihat dalam masalah agamanya kepada orang yang lebih rendah darinya dan melihat masalah dunia kepada orang yang melebihinya lantas merasa susah atas apa-apa yang menelatkan Allah padanya, maka Allah tidak menulisnya syakiron shobiron.”

Predikat ini erat hubungannya dengan penggunaan masa lalu, apa – apa yang telah lewat, sebagai pembelajaran, agar bisa bersikap benar sekarang. Berikutnya mempunyai tabiat yang pas dalam menghadapi sesuatu pada saat kejadian, saat sekarang. Dan menerima apapun hasilnya dengan penuh keridhoan dan kepasrahan. Banyak orang yang menginginkan sesuatu, tetapi belum tentu mendapatkannya. Oleh karena itu, apa yang kita dapatkan sudah selayaknya disyukuri secara mendalam. Karena itu adalah anugerah terbaik, kita hanya perlu menjaga dan mengoptimalkannya. Jadi, sekarang lebih fahamkah kita “Fabiayyi Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?” Semoga.

 SAPMB AJKH

 

salam,

 

pf