Wednesday, December 12, 2012

Kenapa kita tidak bersyukur

Kenapa kita tidak bersyukur (2)

Kebiasaan kadang membutakan. Kebiasaan juga melenakan. Kebiasaan kadang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dalam taraf yang lebih tinggi lagi, kebiasaan bahkan diyakini dan dilestarikan sebagai dogma. Bahkan bisa turun-temurun. Padahal dibalik kebiasaan ini, orang bisa celaka karena sudah biasa. Biasanya begitu gak apa – apa kok? Maka tersebutlah kata - kata bijak yang elok akan kebiasaan ini; jangan benarkan yang biasa, tapi biasakan yang benar. Di perempatan – perempatan, sering kita melihat para pengendara menyerobot lampu merah. Untuk kesekian kali, karena sudah biasa, mereka selamat. Namun suatu ketika naas menghampirinya. Kebiasaan menerobos lampu merah itu membawa petaka. Biasanya sih selamat, sayang sekarang tidak.
Mari kita tengok kebiasaan – kebiasaan yang lain, sebab semua orang pasti memilikinya. Apakah sudah benar? Terus apa manfaat kebiasaan itu buat kita? Sudah hampir 2 tahun saya sudah biasa melewati rute favorit ini. Setidaknya sehari dua kali, bolak – balik dan seminggu 5 hari. Yaitu ketika berangkat dan pulang kerja. Namun, baru akhir – akhir ini mencuat rasa lain di luar kebiasaan yang terjadi. Bukan sebuah petaka, tetapi sebuah pendalaman. Atau boleh juga disebut pencerahan walau bersifat pribadi. Bentuk kesyukuran dan tambah syukur mengarungi samudera kehidupan ini. Coba kalau dulu masuk ke situ. Gak tahu deh jadinya, seperti apa.
Allah berfirman; “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS 2:269)